Google
 

Rabu, 17 Januari 2007

Jakarta banjir: Alam dan manusianya


Jakarta sangat sensitif terhadap banjir. Di utara merupakan pantai landai dan dataran rendah, di selatan daerah perbukitan dan pegunungan. Dari sekitar 650 km2 luas Jakarta, 240 km2 merupakan dataran banjir dengan ketinggian 1 meter di bawah permukaan pasang air laut.
Ada tiga belas sungai yang malang melintang, mengalir dari daerah ketinggian Jakarta dan Jawa Barat menuju Teluk Jakarta. Curah hujan di Jakarta pun termasuk tinggi, 2.000-4.000 mm/tahun, bahkan pada 1996 tercatat sampai 231 mm/hari.

Tanpa intervensi manusia, Jakarta sudah pasti terendam. Air tiba di dataran rendah amat lamban mengalir ke teluk jika mengikuti hukum gravitasi, keadaan akan semakin parah jika air laut pasang, mengalahkan lemahnya arus sungai. Berbagai upaya telah dilakukan sejak Raja Purnawarman memerintahkan pembuatan saluran air 1.500 tahun lalu, dan VOC Belanda membangun kanal-kanal pertamanya 360 tahun lalu, hingga BKT [Banjir Kanal Timur] yang dijadwalkan selesai tiga tahun lagi.

Namun upaya-upaya yang sudah sulit dan mahal mengendalikan alam itu semakin sulit dan mahal karena “alam” manusia Jakarta. Merokok berhasil dilarang, anehnya membuang sampah di sungai, bermukim di daerah penguasaan sungai, atau menimbun situ-situ tidak bisa dihentikan. Padahal jumlah pelakunya jauh lebih sedikit dari jumlah perokok.

Lebar sungai Ciliwung contohnya, semula 65 meter kini hanya 10-20 meter, atau lebih sempit lagi sekarang. Itu data tahun 2003.
Tanah Jakarta pun semakin turun karena pengambilan air tanah yang berlebihan. Evaluasi DKI 1978-1989 menunjukkan penurunan antara 40-80 cm. Hasil penelitian BPPT 2000-2005 antara 28-72 cm.

Apakah kita hanya berpikir bagaimana mengalirkan air ke laut ?
Mungkin Alam berniat mengisi kembali air tanah di bumi Jakarta sehingga bolak-balik dibanjirinya. [data angka: Satkorlak PBP DKI dan BPPT].

Buka lanjutan teks...

Selasa, 16 Januari 2007

Banjir Jakarta Punya Siklus Lima Tahunan?

Ketika BMG berulang kali menyatakan bahwa banjir tidak mempunyai siklus lima tahunan, para pejabat dan media tetap saja mengumbar istilah itu. Coba kita tengok faktanya:

1996: 90an titik genangan

6-9 Januari 1996, Jakarta terendam setelah hujan dua hari.
Sebulan kemudian, 9-13 Februari 1996, tiga hari hujan lebat dengan curah lima kali lipat di atas normal, merendam Jakarta
setinggi 7 m. melimpas tanggul sepanjang 2,5 km. 529 rumah hanyut, 398 rusak. Korban 20 jiwa, 30.000 pengungsi. Nilai kerusakan 435 juta dollar. [sumber: Satkorlak PBP DKI dan Dartmouth Flood Observatory]

2002: 159 titik genangan

Curah hujan besar bersiklus 350 tahun mengguyur hampir seluruh Indonesia.
15-26 Januari 2002, Kapuk, Kebon Bawang dan jalan toll bandara terendam karena waduk jebol.
29 Januari-15 Februari 2002, 40.000 rumah terendam setinggi 3-9 meter karena hujan dan pasang laut. 380.00 pengungsi, korban 75 jiwa.
22 Februari 2002, hujan lagi. 15.000 rumah terendam lagi. [berbagai sumber]

2005 : 72 genangan

Sejak 18 Januari hingga 7 Maret 2005, ribuan rumah bolak-balik terendam. Di kawasan Kampung Melayu dan Bukit Duri ada yang mengaku sampai 7 kali mengungsi.

Kadang-kadang kita sering menyederhanakan istilah, mengabaikan pesan-pesan para pakar, tak menyadari bahwa hal itu merupakan salah satu bentuk pembodohan masyarakat.[]

Buka lanjutan teks...

Senin, 15 Januari 2007

Pengendalian banjir Jakarta, dulu dan kini


Pengendalian banjir mulai hadir di Jakarta agaknya sejak 1500 tahun lalu. Ada satu catatan. Prasasti Tugu mengabarkannya kira-kira begini :
Beberapa waktu lalu kanal Candrabhaga digali oleh Yang Mulia Raja Purnawarman yang memiliki lengan berotot kencang dan kuat agar air –yang masuk ke istana kerajaan yang termasyhur– bisa mengalir ke laut.
Sekarang, di tahun ke duapuluhdua pemerintahan, Yang Mulia Raja Purnawarman, dengan kepandaian dan kebijaksanaannya, sang pemimpin para raja, memerintahkan pembuatan kanal yang indah dan bersih airnya, dinamakan Gomati. Kanal yang mengalir melalui tengah-tengah kompleks istana resi kakek-nda Purnawarman.
Pekerjaan dimulai di hari baik, hari ke delapan bulan purnama bulan Phalguna dan diselesaikan di hari ke 13 bulan purnama Caitra, hanya 21, panjang galian adalah 6.122 busur. Acara selamatan dilaksanakan bersama para resi dengan persembahan 1.000 ekor sapi. (sumber: www.londoh.com).

Zaman VOC di abad 17 catatannya lebih banyak. Banjir besar di Batavia terjadi pada 1671, 1699, 1711, 1714 dan 1854. Sistem pengendalian dilakukan dengan membuat sudetan sungai. Van Breen menggagas pembuatan kanal di bagian barat pintu air Manggarai sampai Muara Angke. Perubahan tata lahan kebun teh di kawasan Puncak diantisipasi dengan mengubah area persawahan menjadi situ-situ.

Di era kemerdekaan, dibentuk lembaga Kopro Banjir pada 1965 yang pada 1966 membangun Waduk Pluit serta rehabilitasi sungai di sekitarnya untuk mengendalikan luapan kali Cideng Bawah, Krukut Bawah, dan Duri.
Saluran pengendali di Grogol dibangun pada 1968 dengan membuat kali Grogol.
Pada 1969 dibangun Waduk Setia Budi yang menampung luapan kali Cideng; Waduk Melati yang mengamankan Jalan Thamrin dan sekitarnya; serta Waduk Tomang untuk menerima luapan kali Sekretaris. Bayangkan, dalam tiga tahun empat waduk.

1972, Kopro Banjir diubah menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya. Lalu diperluas menjadi Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Kini ditangani oleh Satuan Koordinasi Pelaksana Pengendalian Banjir.

Prinsip dasar pengendalian banjir yang dilakukan adalah dengan mengalirkan air sungai yang masuk ke Jakarta, ditampung dan dikendalikan debit serta arahnya agar tidak memasuki wilayah tengah kota. Air di tengah dialirkan melalui Banjir Kanal Barat, di barat melalui Cengkareng Drain dan di timur melalui Cakung Drain.

Di daerah tinggi dibuat drainase yang menyalurkan air secara gravitasi, dengan sendirinya.
Di daerah rendah, menggunakan sistem polder: ditampung kemudian dipompa ke saluran pengendali.g [sumber: Satkorlak PBP DKI dan Depkes RI]

Buka lanjutan teks...

Pemprov DKI Siap Siaga

Tampaknya Pemerintah Provinsi DKI sudah siap menghadapi banjir seburuk 2002 lalu. Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta menjamin banjir akan dapat diatasi bila semua pompa dan saluran air dapat berfungsi. Situasi terburuk —yaitu terjadinya hujan lokal; luapan air sungai dari Jawa Barat; dan air laut pasang dalam saat bersamaan, akan dapat ditangani.

23 Pompa baru di enam lokasi Jakarta Utara ditargetkan selesai 15 Desember 2006. Rp 500 miliar dialokasikan. Drainase, situ-situ dan sungai diperbaiki.
Juga pembuatan sodetan, perbaikan pompa air, perbaikan turap, pembuatan tanggul Muara Angke, dan penyaring sampah sungai.
Pengerukan lumpur dan sampah sungai antara lain dilakukan dari Jalan I Gusti Ngurah Rai hingga pintu air Pulogadung dan sepanjang Banjir Kanal Barat.
Waduk Pluit disiagakan dengan 11 pompa untuk menyedot Sungai Cideng mengendalikan 26 km2 wilayah Menteng, Cendana, dan Jalan MH Thamrin. Waduk Melati dikeruk untuk menambah daya tampung.

Di bidang non struktur, dilakukan pelatihan yang melibatkan masyarakat. 7.400 personel siaga 24 jam, juga empat helikopter, 440 kendaraan roda empat, 300 perahu karet, 134 ambulan, 240 dapur umum, 160 tenda dan 323 lokasi pengungsian, 324 puskesmas.

Koordinasi dilakukan dengan Dinas Kesehatan, Palang Merah Indonesia, TNI serta Polri yang menyiagakan lebih dari 30.000 personil.

Siaga I akan diberlakukan saat permukaan air di Bendungan Katulampa Bogor di atas 310 cm, Pintu Air Manggarai di atas 950 cm, dan Pintu Air Depok di atas 350 cm.
Puncak musim hujan dengan curah 500 mm diperkirakan pada 10 hari terakhir Januari dan awal Februari 2007.

Tampaknya Pemprov DKI dan masyarakat sudah siap. Semoga juga sudah diantisipasi masalah yang juga dialami pada 2002 lalu : pompa tak bisa difungsikan karena PLN harus mematikan listrik. [sumber: Satkorlak dan Berita Jakarta]

Buka lanjutan teks...

Senin, 01 Januari 2007

Hasil pencarian


Buka lanjutan teks...